NUSANTARAKITA.ID – Penanganan kasus kuota haji oleh KPK menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas lembaga antirasuah. Apakah KPK masih menjunjung asas praduga tak bersalah atau telah terjebak dalam drama politik yang merusak kredibilitas penegakan hukum di Indonesia?
Dalam lanskap penegakan hukum Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya menjadi mercusuar keadilan yang bersih dari kepentingan politik. Namun, kasus dugaan korupsi kuota haji 2023-2024 yang ditangani lembaga anti rasuah ini justru memunculkan pertanyaan mendasar, apakah KPK masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip hukum yang adil, ataukah telah bermetamorfosis menjadi instrumen politik yang bermain di panggung opini publik?
Kasus ini terkait dugaan korupsi dalam pengelolaan tambahan kuota haji tahun 2023–2024 yang merugikan negara dengan estimasi awal lebih dari Rp 1 triliun. Lebih dari sekadar angka kerugian yang fantastis, cara KPK mengelola informasi publik dalam kasus ini mencerminkan pergeseran paradigma yang mengkhawatirkan dalam tata kelola penegakan hukum di Indonesia.
Drama Serial yang Tak Berujung
Sejak KPK memulai penyidikan pada 9 Agustus 2025, publik disuguhkan dengan rentetan konferensi pers yang lebih menyerupai episode drama televisi ketimbang proses hukum yang serius. Setiap minggu, ada nama baru yang disebutkan, ada organisasi baru yang disinggung, dan ada spekulasi baru yang dilontarkan. Yang mengherankan, semua ini terjadi tanpa kepastian status hukum yang jelas bagi para pihak yang disebutkan.
KPK mengungkap adanya dugaan aliran dana kasus korupsi penyelenggaraan dan pembagian kuota haji yang masuk ke organisasi keagamaan, dengan menyebut kemungkinan pemanggilan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf sebagai saksi. Pernyataan ini langsung viral di media sosial dan memicu berbagai spekulasi yang melampaui fakta hukum yang ada.
Yang lebih memprihatinkan adalah bagaimana KPK menangani informasi tentang keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi. Tanpa bukti konkret tentang keterlibatan institusional, KPK telah menciptakan narasi yang berpotensi merusak reputasi organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Ini adalah bentuk “trial by the press” yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar sistem peradilan yang adil.
Asas Praduga Tak Bersalah: Korban Pencitraan Politik?
Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) merupakan asas yang fundamental. Asas ini menempatkan seorang tersangka atau terdakwa sebagai orang yang tidak bersalah sampai adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya dan memiliki kekuatan hukum tetap. Prinsip ini bukan sekadar formalitas hukum, melainkan fondasi peradaban yang membedakan negara hukum dari negara otoriter.
Namun, dalam kasus kuota haji ini, KPK seolah mengabaikan prinsip fundamental tersebut. Sudah banyak kritik yang sering dilontarkan terhadap praktik penegakan hukum yang eksploitatif terhadap media.
Lebih jauh dari itu, cara KPK mempublikasikan informasi tentang kemungkinan keterlibatan berbagai pihak tanpa status hukum yang jelas mencerminkan pengabaian terhadap hak asasi manusia yang paling mendasar yakni hak atas nama baik dan hak untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya.
Lamanya KPK dalam mengambil keputusan hukum menimbulkan pertanyaan serius. Ketika proses hukum berlarut-larut tanpa kepastian, yang terjadi bukanlah tegaknya keadilan, melainkan terakumulasinya ketidakadilan yang sistemik.
Manipulasi Narasi dan Politisasi Hukum
Dalam konteks politik Indonesia yang semakin terpolarisasi, kasus kuota haji ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang lebih besar. Pernyataan ini mencerminkan dilema yang dihadapi oleh tokoh publik ketika sistem hukum tidak memberikan kepastian yang memadai. Di satu sisi, mereka harus menjaga integritas personal dan keluarga. Di sisi lain, mereka harus menghadapi tekanan politik yang memanfaatkan ketidakpastian hukum untuk kepentingan tertentu.
Pansus Angket Haji DPR RI menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan haji 2024. Salah satunya adalah pembagian kuota tambahan 50 berbanding 50 dari 20.000 kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi: 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Temuan Pansus DPR ini seharusnya menjadi dasar yang kuat untuk proses penyidikan KPK. Namun, alih-alih fokus pada substansi hukum, KPK justru terjebak dalam permainan narasi yang lebih menyerupai kampanye politik ketimbang penegakan hukum.
Trial by The Press: Ancaman Nyata terhadap Keadilan
Trial by The Press tidak dikenal dalam sistem hukum pidana Indonesia, akan tetapi di dalam sistem hukum pidana Indonesia terdapat Pasal-pasal yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan Trial by The Press. Fenomena ini merujuk pada situasi di mana penilaian publik terhadap seseorang atau kasus tertentu dibentuk oleh pemberitaan media yang cenderung bias, bahkan sebelum proses peradilan yang sesungguhnya berlangsung.
Dalam kasus kuota haji, KPK telah menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya trial by the press. Dengan terus-menerus mempublikasikan informasi parsial, KPK tidak hanya melanggar asas praduga tak bersalah, tetapi juga menciptakan opini publik yang berpotensi memengaruhi objektivitas proses peradilan di masa depan.
Yang lebih berbahaya adalah bagaimana informasi yang dipublikasikan KPK kemudian dimanfaatkan oleh berbagai kelompok politik untuk menyerang lawan-lawan politik mereka. NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, dengan puluhan juta anggota, menjadi korban dari permainan politik ini.
Ketimpangan dalam Penegakan Hukum
Membandingkan pendekatan KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya, terlihat jelas adanya ketimpangan dalam tata kelola informasi publik. Kejaksaan Agung, misalnya, cenderung lebih profesional dalam menangani kasus-kasus besar. Mereka bergerak cepat, menetapkan tersangka berdasarkan bukti yang cukup, dan minim drama media.
Sebaliknya, KPK dalam kasus kuota haji ini justru memilih pendekatan yang kontraproduktif. Alih-alih membangun kepercayaan publik melalui transparansi yang bertanggung jawab, KPK justru menciptakan ketidakpastian yang meresahkan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 jo. UU Nomor 19 Tahun 2019 memang memberikan KPK kewenangan luas dalam penanganan kasus korupsi. Namun, kewenangan tersebut harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk menjaga prinsip-prinsip dasar penegakan hukum yang adil. Pasal 40 UU KPK secara tegas mengatur bahwa penyidikan yang tidak rampung dalam dua tahun wajib dihentikan, yang menunjukkan pentingnya kepastian hukum dalam setiap proses penyidikan.
Dampak Sistemik terhadap Demokrasi
Praktik KPK dalam kasus kuota haji ini memiliki dampak yang melampaui kasus itu sendiri. Ketika lembaga penegak hukum terjebak dalam permainan politik dan pencitraan, hal ini mengancam fondasi demokrasi itu sendiri.
Pertama, kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum akan terkikis. Masyarakat mulai mempertanyakan apakah KPK masih independen atau telah menjadi instrumen politik tertentu. Kedua, preseden yang diciptakan dalam kasus ini akan memengaruhi cara KPK menangani kasus-kasus lain di masa depan. Ketiga, polarisasi politik yang sudah tinggi di Indonesia akan semakin menguat ketika lembaga yang seharusnya netral justru menjadi bagian dari konflik politik.
Di dalam suatu negara yang beriklim demokratis kebebasan berpendapat merupakan bagian esensial yang tak mungkin terpisahkan. Namun, kebebasan berpendapat ini harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk tidak merusak prinsip-prinsip dasar keadilan.
Reformasi Mendesak: Kembali ke Jalur Profesionalisme
Menghadapi krisis kredibilitas ini, KPK harus segera melakukan reformasi internal yang komprehensif. Beberapa langkah konkret yang harus segera ditempuh adalah, Pertama, revisi SOP publikasi informasi. KPK harus menghentikan praktik menyebut nama individu atau organisasi sebelum ada penetapan status hukum yang jelas. Transparansi tidak berarti mengekspos semua informasi tanpa pertimbangan dampak hukum dan sosialnya.
Kedua, percepatan proses penetapan status hukum. Jangan biarkan isu berlarut-larut tanpa kepastian. Jika ada bukti yang cukup, segera tetapkan tersangka. Jika tidak, hentikan spekulasi yang meresahkan masyarakat. Ketiga, komunikasi yang etis dan profesional. Setiap pernyataan publik KPK harus menekankan asas praduga tak bersalah dan menghindari bahasa yang berpotensi merugikan pihak-pihak yang belum ditetapkan statusnya. Keempat, pembersihan dari intervensi politik. KPK harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil murni berdasarkan pertimbangan hukum, bukan tekanan politik atau kepentingan kelompok tertentu.
Pelajaran dari Kasus Serupa
Dalam sejarah penegakan hukum Indonesia, terdapat banyak preseden tentang bagaimana penanganan kasus-kasus besar seharusnya dilakukan. Kasus korupsi Century, misalnya, meskipun kontroversial, ditangani dengan lebih profesional dalam hal pengelolaan informasi publik. Begitu juga dengan berbagai kasus korupsi lainnya yang berhasil dituntaskan tanpa harus menciptakan drama politik yang berkepanjangan.
Yang membedakan kasus-kasus yang berhasil dengan yang gagal adalah konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip dasar penegakan hukum. Ketika lembaga penegak hukum konsisten menerapkan asas praduga tak bersalah, transparansi yang bertanggung jawab, dan independensi dari tekanan politik, hasilnya adalah penegakan hukum yang efektif dan dipercaya masyarakat.
Implikasi Jangka Panjang
Jika KPK tidak segera memperbaiki pendekatannya dalam kasus kuota haji ini, dampak jangka panjangnya akan sangat merusak bagi sistem peradilan Indonesia. Preseden yang diciptakan akan memengaruhi cara masyarakat memandang lembaga penegak hukum secara keseluruhan.
Lebih dari itu, politisasi KPK akan menciptakan situasi di mana setiap kasus korupsi dinilai dari kacamata politik, bukan hukum. Ini akan mengancam efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia dalam jangka panjang.
Mengembalikan Martabat Penegakan Hukum
KPK sebagai lembaga yang dibentuk dengan misi mulia memberantas korupsi harus kembali kepada misi aslinya. Legitimasi KPK tidak berasal dari sorotan kamera atau pujian media, tetapi dari keberhasilan menuntaskan kasus-kasus korupsi dengan adil, cepat, dan profesional.
KPK tentu harus menuntaskan kasus kuota haji 2024 dengan transparan dan objektif. Transparansi di sini bukan berarti eksposur yang berlebihan, melainkan keterbukaan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Masyarakat Indonesia membutuhkan KPK yang kuat, independen, dan profesional. Namun, mereka tidak membutuhkan KPK yang menjadi bagian dari permainan politik atau yang menciptakan ketidakadilan atas nama pemberantasan korupsi.
Pilihan di Persimpangan Jalan
Kasus kuota haji ini menempatkan KPK pada persimpangan jalan yang krusial. Di satu sisi, ada tekanan untuk menunjukkan prestasi dan mempertahankan relevansi politik. Di sisi lain, ada tanggung jawab moral dan konstitusional untuk menjaga integritas penegakan hukum.
Pilihan yang diambil KPK dalam kasus ini akan menentukan masa depan lembaga antirasuah di Indonesia. Jika KPK memilih untuk kembali ke jalur profesionalisme, maka kredibilitasnya masih bisa diselamatkan. Namun, jika KPK tetap terjebak dalam permainan politik, maka legitimasinya akan terus terkikis.
Sudah saatnya KPK menyadari bahwa penegakan hukum bukanlah panggung sandiwara. Keadilan tidak lahir dari drama media, tetapi dari proses yang adil, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Rakyat Indonesia layak mendapatkan penegakan hukum yang lebih baik dari sekadar pertunjukan politik yang merusak martabat keadilan itu sendiri.
Hentikan sandiwara, tegakkan keadilan. Inilah seruan yang harus didengar dan direspons oleh KPK jika masih ingin dipercaya sebagai penjaga keadilan di negeri ini.
*) Oleh : Husnul Hakim Syadad, S.Hi, M.H, Penulis adalah Dekan FISIP UNIRA Malang
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi nusantarakita.id
**) Rubrik Nusantara terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke no whatsapp : 0857-5187-9190
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Nusantarakita.id
**) Dapatkan update berita terbaru setiap hari dari Nusantarakita.id. Mari bergabung di Saluran Whatsapp “Nusantarakita,id“, dengan cara klik kemudian ikuti.