Berita

7 Gagasan KH. Abdullah SAM, Kontribusi Pemikiran Akademisi NU bagi Reformasi Polri di Indonesia

×

7 Gagasan KH. Abdullah SAM, Kontribusi Pemikiran Akademisi NU bagi Reformasi Polri di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Foto : KH. Abdukkah Sam Bersama Kapolres Malang, AKBP Danang Setyo P. S.

NUSANTARAKITA.ID – Reformasi Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia (Polri) kembali menjadi perbincangan publik setelah pemerintah membentuk Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 122/P Tahun 2025. Di tengah momentum ini, Ketua Pimpinan Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PC ISNU) Kabupaten Malang, Dr (c). KH. Abdullah SAM, S.Psi., M.Pd., menegaskan perlunya perbaikan fundamental agar Polri kembali memperoleh kepercayaan publik (public trust) yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan signifikan.

Pandangan Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orda Kabupaten Malang ini berkelindan dengan dinamika intelektual yang lebih luas. KH. Abdullah SAM yang juga seorang Wakil Direktur Pesantren Center Nusantara itu mengawali gagasannya dengan membahas gagasan klasik Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan (trias politica), putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru, serta sejumlah evaluasi dari para pakar hukum dan tata negara.

Scroll Kebawah Untuk Lanjut Membaca

Akar Masalah: Batas Kekuasaan dan Independensi Kepolisian

Konsep pemisahan kekuasaan klasik sebagaimana ditulis oleh Montesquieu (1689) menegaskan bahwa untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus dipisahkan secara tegas. Namun, dalam praktiknya, tidak semua negara mampu menjalankan konsep tersebut dengan sempurna.

Menurut Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H., Ketua Tim Reformasi Polre bahwa pada abad ke-6, struktur kekuasaan di Nusantara misalnya dalam sistem pemerintahan Sriwijaya belum mengenal pembagian kekuasaan yang jelas. Seorang pesirah memegang tiga fungsi sekaligus yaitu membuat aturan, melaksanakan, dan mengadili. Pola ini menunjukkan bahwa gagasan trias politica baru diterapkan berabad-abad kemudian meski substansinya telah dikenal dalam bentuk tradisi lokal.

Dalam konteks negara modern, Polri secara teoritis berada di ranah eksekutif dengan fungsi menjalankan hukum, menjaga ketertiban, dan melakukan penyelidikan. Polisi bukan lembaga yudikatif dan tidak memegang kewenangan mengadili karena fungsi itu berada pada Mahkamah Agung, pengadilan, dan lembaga hukum lain seperti yang disampaikan Hiariej dalam goodpeople.baginfo.

Karena itulah, kata KH. Abdullah SAM, Pengasuh Pesantren Rakyat Al-Amin, jika Polri dinyatakan memiliki “irisan yudikatif”, maka secara prinsip tidak tepat bila berada langsung di bawah Presiden. Dalam kerangka checks and balances, idealnya ada mekanisme kontrol parlemen yang mencegah konsentrasi kekuasaan pada satu tangan. Pandangan ini selaras dengan literatur politik kontemporer (Fukuyama, 2013) yang menyatakan bahwa lembaga penegak hukum yang terlalu dekat dengan eksekutif cenderung lebih rentan intervensi politik.

Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025: Menegaskan Batas Peran Polri

Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 November 2025 melalui Ketua MK Suhartoyo menegaskan batas-batas kewenangan kepolisian melalui putusan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025:

  1. Anggota Polri aktif dilarang menduduki jabatan sipil.
  2. Penempatan anggota Polri pada jabatan sipil hanya boleh dilakukan jika yang bersangkutan telah mengundurkan diri atau pensiun.
  3. MK membatalkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sebagai bentuk pembatasan agar relasi kekuasaan eksekutif tidak merembes ke sektor sipil.

Putusan ini memperkuat kembali garis batas civil supremacy dalam sistem demokrasi Indonesia bahwa sektor sipil harus dipimpin oleh unsur sipil, sementara Polri menjalankan fungsi kepolisian secara penuh.

Tim Reformasi Polri: Komposisi dan Signifikansi

Presiden Republik Indonesia, Jenderal TNI (Purn) H. Prabowo Subianto menugaskan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua Tim Reformasi Polri. Komite ini diisi oleh tokoh-tokoh hukum dan kepolisian, mulai dari Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, hingga tokoh kepolisian aktif dan purnawirawan seperti Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jenderal (Purn) Tito Karnavian.

Mahfud MD dalam wawancaranya di Kompas TV mengingatkan bahwa selama ini Polri memiliki jejak kinerja yang kuat. Ia menilai Polri sebagai institusi yang pernah disejajarkan dengan Metropolitan Police Inggris dalam hal efektivitas penyelesaian perkara. Polri juga menjaga keamanan di lebih dari 75.000 desa di seluruh Indonesia, sebuah tanggung jawab besar yang tidak dimiliki banyak negara.

Namun demikian, keberhasilan tersebut tidak menutup fakta bahwa trust deficit terhadap Polri masih nyata. Kepercayaan publik menurun akibat pelanggaran HAM, kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, budaya feodal, kurangnya transparansi, hingga kasus lama yang belum tuntas. Temuan ini selaras dengan laporan KontraS (2023), riset Amnesty International, serta sejumlah artikel ilmiah terkait penurunan legitimasi aparat penegak hukum.

Gagasan Ketua PC ISNU Kabupaten Malang, KH. Abdullah SAM: Reformasi yang Menyentuh Fondasi Organisasi

Sebagai akademisi, tokoh masyarakat dan pengasuh pesantren, KH. Abdullah SAM mengajukan sejumlah gagasan untuk perbaikan struktural Polri. Usulan ini tidak berhenti pada aspek normatif, tetapi menyentuh aspek teknis dan budaya organisasi:

  1. Transparansi penuh pada proses rekrutmen untuk memastikan profesionalitas.
  2. Hak rakyat untuk melaporkan polisi nakal, menjadikan masyarakat sebagai agent of control.
  3. Pemasangan CCTV bersuara di seluruh lini pelayanan publik.
  4. Integrasi kecerdasan buatan (AI) dan smart response di seluruh level Polri, terutama seiring pengembangan smart city di IKN.
  5. Pelayanan publik dengan standar keramahan tinggi, seperti pegawai bank profesional.
  6. Pembentukan intelijen internal untuk memantau integritas anggota.
  7. Kenaikan gaji agar polisi tidak mencari tambahan lewat praktik markus (makelar kasus).

Usulan ini menekankan bahwa reformasi tidak cukup pada aturan. Ia harus menyentuh keadilan prosedural, integritas individu, dan budaya organisasi. Pada titik ini, gagasan Abdullah sejalan dengan teori organizational justice (Tyler, 2006) yang menegaskan bahwa keadilan prosedural menentukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum.

Momentum Mengembalikan Kepercayaan Publik

Gagasan reformasi Polri bukan sekadar diskursus akademik, melainkan kebutuhan strategis negara demokratis. Pemisahan kekuasaan ala Montesquieu, putusan MK, pembentukan tim reformasi, dan aspirasi masyarakat sipil termasuk yang disampaikan KH. Abdullah SAM mengarah pada satu tujuan yakni Polri yang profesional, independen, akuntabel, dan dipercaya rakyat.

Reformasi ini bukan hanya tentang membenahi kelembagaan, tetapi mengembalikan Polri ke mandat asalnya, menjadi pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat. Sebuah cita-cita yang hanya dapat tercapai melalui keberanian melakukan introspeksi, pembenahan struktural, dan budaya integritas yang kuat dari dalam tubuh kepolisian itu sendiri. (*)

 

*) Dapatkan update berita terbaru setiap hari dari Nusantarakita.id. Mari bergabung di Saluran Whatsapp “Nusantarakita,id“, dengan cara klik  kemudian ikuti.